Selasa, 11 Agustus 2009

Dongeng Neoliberalisme Indonesia Dibawah Pimpinan SBY

Oleh : HABIBI

Apa sih itu neoliberialisme???apa nama sebuah agama baru???kok nama pak SBY di kaitkan dengan neolib sehingga menjadi SBY-NEOLIB???apakah benar pak SBY penganut NEOLIB???
Neoliberalisme berasal dari dua suku kata yaitu : neo yang berarti wajah baru dan liberal yang berarti kebebasan, hal tersebut adalah sebuah ideologi yang berkembang dari lingkungan eropa pada abad pertengahan. Ketika itu masyarakat eropa masih bercorak feodal, dimana kekuasaan terletak pada kaum aristokrat (bangsawan) yang menguasai tanah. Sehingga mereka menguasai kekuasaan politik sekaligus kekuasaan ekonomi yang sangat besar. Selain kaum aistokrat terdapat pula kelompok kaum petani yang berkedudukan sebagai penggarap yang berkewajiban membayar pajak dan menyumbangkan tenaga bagi kaum aristokrat tersebut sebagai sang patron. Formasi sosial-ekonomi yang menitik beratkan pada bentuk struktur hubungan juragan-bawahan (patron-client relationship) serta aturan system yang mengikat ini berlangsung secara statis dan sulit berubah dalam waktu lama. Sehingga kebebasan individu menjadi terkekang oleh aturann feodalisme ini dan keinginan individu-individu untuk mengekspresikan kemampuannya menjadi tersumbat. Namun dengan adanya keresahan dari kelompok intelektual yang kemudian mengembangkan faham liberal yang kemudian lama kelamaan disambut oleh golongan pedagang dan industry, menjadikan liberalisme menjadi berkembang. Titik pangkal keresahan kaum intelektual adalah berkenaan dengan rasa ingin tahu (curiosity) untuk mengejar pengetahualn baru serta kebebasan individual. Keresahan kaum intelektual tersebut tidak hanya didukung oleh golongan pedagang dan industry, bahkan hal itu digunakan untuk membenarkan tuntutan politik yang membatasi kekuasaan bangsawan, gereja, dan gilde-gilde. Sehingga system feodalisme sosial-ekonomi goyah dan digantikan dengan formasi sosial ekonomi yang lebih menghormati hak-hak individu. Karena menurut faham liberalisme ini, tipe masyarakat yang terbaik adalah yang memungkinkan individu mengembangkan pikiran dan bakat-bakatnya serta pertanggung-jawabannya. Perjuangan para intelektual eropa tersebut pun akhirnya menjadi sebuah kemenangan sekaligus racun yang sangat berbahaya atas ketimpangan sosial yang terjadi dalam lingkungan kemasyarakatan, dimana terciptanya kaum-kaum individualistic, hedonistic dan berbagai permasalahan-permasalahan sosial yang baru.

Faham Neoliberalisme ini juga dikenal sebagai paham ekonomi neoliberal mengacu pada filosofi ekonomi-politik akhir-abad keduapuluhan, sebenarnya merupakan redefinisi dan kelanjutan dari liberalisme klasik yang dipengaruhi oleh teori perekonomian neoklasik yang mengurangi atau menolak penghambatan oleh pemerintah dalam ekonomi domestik karena akan mengarah pada penciptaan Distorsi dan High Cost Economy yang kemudian akan berujung pada tindakan koruptif. Paham ini memfokuskan pada pasar bebas dan perdagangan bebas merobohkan hambatan untuk perdagangan internasional dan investasi agar semua negara bisa mendapatkan keuntungan dari meningkatkan standar hidup masyarakat atau rakyat sebuah negara dan modernisasi melalui peningkatan efisiensi perdagangan dan mengalirnya investasi
Atas hasil ketimpangan-ketimpangan sosial diatas yang sangat merugikan Negara berkembang yang ikut menganut faham neolibealisme tersebut membuat Semua pasangan capres-cawapres mengklaim beraliran ekonomi kerakyatan. Tak terkecuali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang seringkali dimasukkan ke kategori tokoh beraliran neoliberal. Ia mengecap diri sebagai prorakyat. Sementara Boediono, yang selama ini dikenal sebagai pakar ekonom penganut neoliberal, menyatakan keheranannya dengan cap tersebut seraya menyebutkan bahwa dirinya selalu berpikir tentang kesejahteraan rakyat. Benarkah pemerintahan SBY menganut aliran ekonomi kerakyatan? Ataukah klaim SBY-Boediono hanya sebatas strategi kampanye? Kenapa neoliberal, meskipun diyakini kebenarannya, tidak bisa dijual?

Dalam Lima Tahun Pemerintahan

Aliran atau faham ekonomi yang dianut suatu pemerintahan dalam suatu Negara selalu bisa dilihat dari kebijakannya dan respons pelaku ekonomi terhadap kebijakan tersebut. Jika kebijakan pemerintah bersifat protektif untuk mengutamakan kepentingan nasional, misalnya melindungi produksi dalam negeri dengan cara menetapkan bea masuk yang tinggi bagi produk-produk tertentu, pengusaha biasanya akan merespons dengan memaksimalkan penggunaan produk lokal untuk bahan baku barang yang ia produksi. Sebaliknya, jika pemerintah tidak peduli terhadap terjaminnya kepentingan dalam negeri, ia akan menerapkan pasar bebas tanpa reserve. Dalam hal perdagangan internasional, ia akan menetapkan bea masuk serendah mungkin, bahkan nol persen. Sebagai respons terhadap sikap pemerintah seperti itu, pengusaha akan melirik ke luar. Mereka akan mencari produk bahan baku semurah mungkin, yaitu dengan cara mengimpor. Akibatnya, produsen dalam negeri merana.

Bagaimana dengan kondisi republik setelah hampir lima tahun pemerintahan Presiden Yudhoyono, dengan Boediono yang termasuk di dalamnya? Apakah industri kita, dari hulu sampai hilir, bergairah dan mengalami kemajuan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, dapat dilakukan secara induktif, yaitu dengan cara mengambil beberapa contoh fakta kontemporer sebagai bahan pertimbangan dalam menganalisa suatu hal. Pertama, produsen susu dan mie sekarang ini lebih suka menggunakan bahan mentah impor dibanding menggunakan hasil produksi petani yang ada indonesia. Kedua, furnitur China membanjiri pasar dan membunuh furnitur dalam negeri, padahal kayunya banyak berasal dari pembabatan hutan di Indonesia. Ketiga, industri otomotif dan elektronik tak beranjak statusnya hanya sebagai “penjahit” merek-merek Jepang, Korea, China, dan India. Keempat, batik asal China mulai mendominasi pasar dan meminggirkan batik Pekalongan, Solo, Yogyakarta, dan batik Indonesia lainnya. Semuanya terjadi karena kebijakan pemerintah yang menerapkan bea impor sangat rendah. Pemerintah tampak tidak memiliki kehendak untuk melindungi industri dan pertanian dalam negeri.

Selain itu, terdapat fakta lainnya, yaitu pertama, menjamurnya peritel raksasa sampai ke area perumahan sehingga membuat banyak toko kecil gulung tikar. Kedua, menderitanya rakyat yang tanah dan rumahnya tenggelam oleh semburan lumpur yang diakibatkan oleh kesalahan penambangan. Ketiga, ekspor energi yang terus dilakukan tanpa mempertimbangkan tercukupinya kebutuhan dalam negeri.

Semuanya akibat terlalu berpihaknya pemerintah pada pengusaha besar.

Berdasarkan beberapa fakta di atas, maka pemerintahan SBY dapat di vonis dan dikategorikan sebagai pemerintahan yang menganut faham yang beraliran neoliberal. Pemerintah yang sedang berjalan sekarang ini adalah pemerintahan propasar bebas dalam pengertian memberi keleluasaan dan perlindungan penuh bagi pemain atau pedagang besar walaupun keleluasaan tersebut berakibat “kematian” bagi kalangan lain yang ada di dalam negeri sendiri (pedagang dan rakyat kecil). Adapun pernyataan yang di lontarkan oleh SBY dan Boediono pada media bahwa dirinya selalu berpikir tentang kesejahteraan rakyat tidak berarti bahwa ia bukan penganut neoliberalisme. Ia penganut lassez faire, dalam arti percaya bahwa dengan kekuatan, dinamika, dan logika pasar, masyarakat yang menerapkan sistem ekonomi bebas pada akhirnya akan mencapai kesejahteraan.

Bagi penganut faham neoliberalisme, kesejahteraan adalah hasil dari proses mekanisme pasar bebas. Itulah cara pencapaian kesejahteraan yang selalu dipikirkan Boediono. Hal itu tecermin dari pernyataan Boediono bahwa intervensi negara dibutuhkan, namun hendaknya tidak teralu besar agar kreativitas dunia usaha tidak hilang. Pandangan Boediono ini senada dengan Milton Friedman, Bapak Neoliberalisme, yang menyatakan bahwa jika suatu negara ingin mencapai kemajuan ekonomi, peran negara harus diminimalisasi seraya memberikan kebebasan penuh bagi dunia usaha.

Menguntungkan Kaum Elite

Tidak adanya kandidat yang berani mengakui diri beraliran neoliberal, padahal dalam keseharian ketika memerintah menunjukkan hal itu, memberi kesan faham ekonomi tersebut merupakan faham yang buruk. Neoliberalisme bukan hanya tidak akan laku dijual, melainkan juga kontraproduktif bagi proses pemenangan kandidat tersebut.
Apakah neoliberalisme bukan “barang jualan” yang bagus? Neoliberalisme sebenarnya bisa menjadi “barang” yang laris manis, yaitu di negara yang masyarakatnya telah mencapai taraf ekonomi yang tinggi. Masyarakat seperti itu adalah masyarakat yang mampu bertahan dalam persaingan.
Dalam masyarakat yang mayoritas taraf ekonominya rendah seperti Indonesia, neoliberalisme hampir dilihat sebagai musuh. Neoliberalisme dipandang sebagai sistem ekonomi yang hanya menguntungkan segelintir elite.
Karena itu, dalam setiap pemilu di negara yang rakyatnya masih banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan, neoliberalisme merupakan kartu mati. Calon yang dalam dirinya tertempel citra neolib sulit untuk mendapat simpati publik.
Meski demikian, karena sistem neoliberal merupakan sistem yang paling menguntungkan dan memudahkan bagi pemerintah, siapa pun yang memenangi pilpres nanti hampir dapat dipastikan akan menerapkan sistem propasar bebas tersebut. Apalagi jika SBY-Boediono (yang berdasarkan analisis di atas telah menerapkan sistem neoliberal saat ini) yang memenangi persaingan, dapat dipastikan neoliberalisme akan semakin terkonsolidasi di negeri ini.

Penulis adalah mahasiswa fakultas ekonomi UMA angkatan 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar