Sabtu, 27 Agustus 2011

MODAL SOSIAL UNTUK INDONESIA

Modal sosial (sosial capital) adalah kapabilitas yang muncul dari kepercayaan umum di dalam sebuah masyarakat atau bagian-bagian tertentu darinya. Ia bisa dilembagakan dalam kelompok sosial yang paling kecil dan paling mendasar, demikian juga kelompok-kelompok masyarakat yang paling besar, Negara, dan dalam seluruh kelompok lain yang ada di antaranya. Modal sosial (sosial capital) berbeda dengan bentuk-bentuk human capital lain sejauh ia bisa diciptakan dan ditransmisikan melalui mekanisme-mekanisme kultural seperti agama, tradisi atau kebiasaan sejarah. Para ekonom secara tipikal berpendapat bahwa formasi kelompok-kelompok sosial bisa dijelaskan sebagai hasil dari kontrak sengaja diantara individu-individu yang telah melakukan kalkulasi rasional bahwa kerja sama itu sesuai dengan swa-kepentingan (self-interest) jangka panjang mereka. Dengan pertimbangan ini, kepercayaan menjadi sesuatu yang tidak penting bagi kerja sama : swa-kepentingan yang tercerahkan, bersama dengan mekanisme-mekanisme hukum kontrak, bisa menjadi pengganti atas mangkirnya kepercayaan dan memungkinkan orang-orang asing bekerja sama menciptakan sebuah organisasi yang akan bekerja demi tujuan bersama. Kelompok-kelompok bisa dibentuk setiap saat berdasarkan swa-kepentingan, dan formasi kelompok tidak selalu bergantung pada kebudayaan (culture-dependent).

Namun, sementara kontrak dan swa-kepentingan merupakan sumber-sumber asosiasi yang penting, organisasi-organisasi yang paling efektif pun didasarkan pada komunitas nilai-nilai etis bersama. Komunitas-komunitas yang berdasarkan nilai etis bersama ini tidak memerlukan kontrak ekstentif dengan segenap pasal-pasal hukum yang mengatur hubungan-hubungan mereka karena konsensus-konsensus moral sebelumnya cukup memberikan pada anggota kelompok itu basis untuk terwujudnya sikap saling percaya.

Modal sosial (sosial capital) dibutuhkan untuk menciptakan jenis komunitas moral ini yang tidak bisa diperoleh – seperti dalam kasus bentuk-bentuk human capital yang lain – begitu saja melalui keputusan investasi rasional, yakni, keputusan individu untuk “berinvestasi” dalam modal sosial (sosial capital) konvensional seperti pendidikan universitas, atau pelatihan untuk menjadi seorang mekanik atau programmer komputer, atau dengan menyelenggarakan pendidikan yang tepat lainnya. Akuisisi modal sosial (sosial capital), sebaliknya memerlukan pembiasaan terhadap norma-norma moral sebuah komunitas dan dalam konteksnya, sekaligus mengadopsi kebajikan-kebajikan seperti kesetiaan, kejujuran dan dependability. Kelompok lebih-lebih harus mengadopsi norma-norma bersama sebagai satu keseluruhan sebelum kepercayaan bisa digeneralisasikan diantara anggota-anggotanya. Dengan kata lain, modal sosial (sosial capital) mustahil diperoleh oleh individu-individu yang biasa bertindak diatas kepentingan sendiri. Alih-alih kebajikan-kebajikan individual, modal sosial (sosial capital) lebih didasarkan pada kebajikan-kebajikan sosial umum, kecenderungan terhadap sosiabilitas jauh lebih sulit diperoleh ketimbang bentuk-bentuk human capital yang lain, tetapi karena ia didasarkan pada kebiasaan etis, ia juga lebih sulit untuk dimodifikasi dan dihancurkan atau dengan istilah lain adalah sosiabilitas spontan yang merupakan bagian dari modal sosial (sosial capital). dalam masyarakat Indonesia sekarang ini, organisasi-organisasi secara konstan terus diciptakan, dihancurkan dan dimodifikasi. Jenis modal sosial (sosial capital) yang paling berguna seringkali bukanlah kemampuan untuk bekerja dibawah otoritas dari sebuah komunitas atau kelompok tradisional, tetapi kapasitas untuk membentuk asosiasi-asosiasi baru dan bekerja sama berkaitan dengan referensi yang mereka tetapkan. Tipe kelompok ini, lahir dari pembagian kerja masyarakat industri yang kompleks meskipun berdasarkan pada nilai-nilai bersama dan bukannya pada sistem kontrak – jatuh dibawah rubric umum dari apa yang disebut Durkheim sebagai “solidaritas organik.” Sosiabilitas lebih-lebih merujuk pada bentangan luas komunitas-komunitas perantara itu yang berbeda dari keluarga atau mereke yang secara sengaja diciptakan oleh pemerintah. Pemerintah acapkali terpaksa terlibat untuk mempromosikan komunitas ketika terjadi defisit sosiabilitas spontan, namun intervensi Negara mengandung resiko yang lain, karena ia bisa dengan sangat mudah melemahkan komunitas-komunitas spontan yang ditegakkan oleh civil society. Modal sosial (sosial capital) memiliki konsekuensi-konsekuensi utama bagi penentuan hakikat ekonomi industri yang akan bisa diciptakan oleh masyarakat. Jika orang-orang yang bekerja bersama dalam sebuah perusahaan saling mempercayai dan bekerja menurut serangkaian norma-norma etis bersama, maka berbisnis hanya memerlukan sedikit biaya. Masyarakat demikian akan lebih mampu berinovasi secara organisasional, karena tingkat kepercayaan yang tinggi akan memungkinkan munculnya varietas hubungan sosial yang lebih luas. Oleh karenanya, orang-orang Amerika yang sangat sociable merintis pengembangan perusahaan modern pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke 20, ketika orang jepang sudah mengeksplorasi berbagai kemungkinan organisasi-organisasi jaringan di abad ke-20. Sebaliknya, orang-orang yang tidak saling mempercayai akan segera mengakhiri kerja sama mereka yang dibangun dibawah sistem aturan-aturan dan kebajikan-kebajikan formal yang harus dinegosiasi-kan, disepakati, digugat dan dilaksanakan, bahkan kadang-kadang dengan cara koersif. Aparatus legal ini, yang dianggap sebagai pengganti kepercayaan, membutuhkan apa yang disebut oleh para ekonom sebagai “biaya-biaya transaksi.” Ketidakpercayaan yang tersebar luas dalam suatu masyarakat yang low-trust, dengan kata lain, akan membebani seluruh bentuk aktivitas ekonomi masyarakat itu dengan sejenis pajak tertentu, pajak yang tidak harus dibayar oleh masyarakat high-trust.

Modal sosial (sosial capital) tidak terdistribusikan secara seragam diantara berbagai masyarakat. Sebagian menunjukkan sebuah kecenderungan yang jelas lebih besar terhadap asosiasi yang lebih disukai pun berbeda. Dalam sebagian masyarakat, keluarga dan kekerabatan merupakan bentuk asosiasi primer: dalam masyarakat yang lain, asosiasi-asosiasi sukarela jauh lebih kuat dan digunakan untuk menarik orang keluar dari keluarga mereka. Di Amerika serikat misalnya, konversi agama seringkali mendorong orang untuk meninggalkan keluarga mereka guna mengikuti panggilan dari sekte agama baru, atau setidaknya membebankan kewajiban-kewajiban baru kepada mereka yang bersaing untuk kewajiban terhadap keluarga mereka. Di Cina, sebaliknya para pendeta Buddha sering kurang berhasil dan sering dicaci, karena membujuk anak-anak untuk menjauhi keluarga mereka. Masyarakat yang sama mungkin memperoleh modal sosial (sosial capital) sepanjang masa atau kehilangannya. Prancis pada Abad pertengahan memiliki jaringan berbagai asosiasi sipil yang padat, tetapi kapasitas Perancis untuk melakukan sosiabilitas spontan secara efektif telah lama dihancurkan sejak Abad ke-16 dan ke-17 oleh monarki sentralistik yang Berjaya waktu itu.

Sedangkan Indonesia adalah sebuah Negara yang terbentuk diatas otoritas etnik pada tiap-tiap suku yang memiliki sosiabilitas spontannya, dan hal ini sangatlah berpengaruh terhadap tenggang rasa dan gotong royong didalam budaya-budayanya, namun pula hal ini menjadi faksi-faksi tersendiri didalam tiap-tiap kulturnya sehingga membatasi perbedaan etnik budaya untuk melakukan perubahan masal dalam satu komunitas besar yaitu Indonesia sebagai sebuah Negara. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap birokrasi pemerintah telah terbentuk dengan sendirinya sehingga sikap kebijakan yang diterapkan tidak begitu menuai responsif positif oleh masyarakat luas diseluruh Indonesia. Hal ini dikarenakan tidak adanya peran Negara sebagai “founding father” dalam mengawal kebijakan sampai dengan kebijakan yang tidak populis dan hal ini menuai miskinnya kepercayaan (low-trust) masyarakat terhadap birokrasi pemerintah sehingga tanpa disadari keinginan terhadap perubahan sosial terus terwacana dalam tiap-tiap perdebatan politis sampai dengan gerakan “putch” (gerakan yang didasari oleh kepentingan politik, ekonomi individual) yang dikawal oleh intelektual Negara. Perubahan sosial lahir sebagai jawaban terhadap krisis modal sosial (sosial capital) masyarakat Indonesia terhadap birokrasi pemerintah yang dianggap gagal dalam mengemban amanat untuk mencapai cita-cita luhur bangsa Indonesia, yaitu masyarakat yang adil dan sejahtera. Perubahan sosial merupakan harapan seluruh masyarakat Indonesia untuk dapat memperbaiki seluruh tatanan hidup masyarakat (sosial, ekonomi, budaya, dan politik atau pemerintahan) menjadi lebih baik dan bermartabat. Upaya ke arah perbaikan mulai dilakukan oleh pemerintah sebagai institusi yang diberi mandat oleh rakyat Indonesia. Hal-hal yang dianggap menghambat dan tidak kondusif pada masa seperti: sentralisasi, ketidakbebasan pers, ketidakbebasan berserikat atau berpolitik, dan pemerintahan yang otoriter, dirubah ke arah yang lebih terdesentralisasi, menjamin kebebasan pers, kebebasan berorganisasi/politik, dan pemerintahan yang demokratis.

Mencermati peristiwa-peristiwa yang terjadi kurang lebih 12 tahun usia reformasi dan bila dikaitkan dengan upaya-upaya untuk menumbuh-kembangkan modal sosial (sosial capital) maka belumlah mencapai hasil yang memuaskan kalau tidak dikatakan mengalami pelemahan. Peristiwa-peristiwa yang hadir sepanjang reformasi seperti konflik yang muncul di berbagai daerah, demonstrasi yang terus berlangsung, kekerasan yang meningkat, fanatisme kesukuan dan kedaerah yang meningkat, khususnya yang terjadi pada beberapa bulan terkahir, seperti kasus Cicak vs Buaya; Kasus Century; Kasus Markus, kasus wisma atlit yang menyeret bendahara umum Partai Demokrat sendiri selaku pihak pengawal yang pro terhadap kebijakan pemerintah dan lain sebagainya, telah membawa dampak pada semakin terpuruknya modal sosial (sosial capital) masyarakat Indonesia.

Masyarakat semakin tidak percaya dengan janji perubahan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat Indonesia dalam segala aspek. Paling tidak hingga saat ini, masyarakat masih disuguhi dengan tontonan yang membuat rasa percaya (trust) masyarakat terhadap berbagai pihak termasuk pada pemerintah menjadi semakin memudar. Bila kondisi ini terus berlanjut maka arah modal sosial masyarakat Indonesia akan terus bergerak menuju pada titik nadir. Dan bila ini terjadi maka apa yang menjadi tujuan perubahan akan terus menjauh dari genggaman tangan kita.

Sebaliknya, bila peristiwa yang saat ini sedang dipertontonkan, khususnya yang terkait dengan penanganan KKN menjadi titik awal bagi upaya untuk menghapuskan KKN secara sistematis, meskipun terlambat, namun perubahan masih akan memberikan harapan bagi masyarakat Indonesia. Penyelesaian secara baik dan benar terhadap kasus-kasus yang saat ini sedang bergulir akan menjadi momentum untuk menumbuhkembangkan kembali modal sosial (sosial capital) masyarakat Indonesia yang selama ini terus mengalami pelemahan dan penghancuran tanpa harus mengeluarkan harga (cost) yang begitu besarnya dalam menyelesaikan tiap-tiap problematika yang terjadi. Bila hal ini terus dapat dilakukan, maka arah modal sosial (sosial capital) masyarakat Indonesia akan terus tumbuh dan berkembang dan akan menjadi potensial sebagai pendukung bagi keberhasilan pembangunan Indonesia, dan tentunya keberhasilan reformasi Indonesia. Jalan mana yang kita pilih sesungguhnya tergantung pada seluruh komponen masyarakat Indonesia, utamanya pemerintah yang diberi mandat untuk menjalankan perubahan tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar