Minggu, 28 Agustus 2011

"my"


MOTIVASI

Sabtu, 27 Agustus 2011

MODAL SOSIAL UNTUK INDONESIA

Modal sosial (sosial capital) adalah kapabilitas yang muncul dari kepercayaan umum di dalam sebuah masyarakat atau bagian-bagian tertentu darinya. Ia bisa dilembagakan dalam kelompok sosial yang paling kecil dan paling mendasar, demikian juga kelompok-kelompok masyarakat yang paling besar, Negara, dan dalam seluruh kelompok lain yang ada di antaranya. Modal sosial (sosial capital) berbeda dengan bentuk-bentuk human capital lain sejauh ia bisa diciptakan dan ditransmisikan melalui mekanisme-mekanisme kultural seperti agama, tradisi atau kebiasaan sejarah. Para ekonom secara tipikal berpendapat bahwa formasi kelompok-kelompok sosial bisa dijelaskan sebagai hasil dari kontrak sengaja diantara individu-individu yang telah melakukan kalkulasi rasional bahwa kerja sama itu sesuai dengan swa-kepentingan (self-interest) jangka panjang mereka. Dengan pertimbangan ini, kepercayaan menjadi sesuatu yang tidak penting bagi kerja sama : swa-kepentingan yang tercerahkan, bersama dengan mekanisme-mekanisme hukum kontrak, bisa menjadi pengganti atas mangkirnya kepercayaan dan memungkinkan orang-orang asing bekerja sama menciptakan sebuah organisasi yang akan bekerja demi tujuan bersama. Kelompok-kelompok bisa dibentuk setiap saat berdasarkan swa-kepentingan, dan formasi kelompok tidak selalu bergantung pada kebudayaan (culture-dependent).

Namun, sementara kontrak dan swa-kepentingan merupakan sumber-sumber asosiasi yang penting, organisasi-organisasi yang paling efektif pun didasarkan pada komunitas nilai-nilai etis bersama. Komunitas-komunitas yang berdasarkan nilai etis bersama ini tidak memerlukan kontrak ekstentif dengan segenap pasal-pasal hukum yang mengatur hubungan-hubungan mereka karena konsensus-konsensus moral sebelumnya cukup memberikan pada anggota kelompok itu basis untuk terwujudnya sikap saling percaya.

Modal sosial (sosial capital) dibutuhkan untuk menciptakan jenis komunitas moral ini yang tidak bisa diperoleh – seperti dalam kasus bentuk-bentuk human capital yang lain – begitu saja melalui keputusan investasi rasional, yakni, keputusan individu untuk “berinvestasi” dalam modal sosial (sosial capital) konvensional seperti pendidikan universitas, atau pelatihan untuk menjadi seorang mekanik atau programmer komputer, atau dengan menyelenggarakan pendidikan yang tepat lainnya. Akuisisi modal sosial (sosial capital), sebaliknya memerlukan pembiasaan terhadap norma-norma moral sebuah komunitas dan dalam konteksnya, sekaligus mengadopsi kebajikan-kebajikan seperti kesetiaan, kejujuran dan dependability. Kelompok lebih-lebih harus mengadopsi norma-norma bersama sebagai satu keseluruhan sebelum kepercayaan bisa digeneralisasikan diantara anggota-anggotanya. Dengan kata lain, modal sosial (sosial capital) mustahil diperoleh oleh individu-individu yang biasa bertindak diatas kepentingan sendiri. Alih-alih kebajikan-kebajikan individual, modal sosial (sosial capital) lebih didasarkan pada kebajikan-kebajikan sosial umum, kecenderungan terhadap sosiabilitas jauh lebih sulit diperoleh ketimbang bentuk-bentuk human capital yang lain, tetapi karena ia didasarkan pada kebiasaan etis, ia juga lebih sulit untuk dimodifikasi dan dihancurkan atau dengan istilah lain adalah sosiabilitas spontan yang merupakan bagian dari modal sosial (sosial capital). dalam masyarakat Indonesia sekarang ini, organisasi-organisasi secara konstan terus diciptakan, dihancurkan dan dimodifikasi. Jenis modal sosial (sosial capital) yang paling berguna seringkali bukanlah kemampuan untuk bekerja dibawah otoritas dari sebuah komunitas atau kelompok tradisional, tetapi kapasitas untuk membentuk asosiasi-asosiasi baru dan bekerja sama berkaitan dengan referensi yang mereka tetapkan. Tipe kelompok ini, lahir dari pembagian kerja masyarakat industri yang kompleks meskipun berdasarkan pada nilai-nilai bersama dan bukannya pada sistem kontrak – jatuh dibawah rubric umum dari apa yang disebut Durkheim sebagai “solidaritas organik.” Sosiabilitas lebih-lebih merujuk pada bentangan luas komunitas-komunitas perantara itu yang berbeda dari keluarga atau mereke yang secara sengaja diciptakan oleh pemerintah. Pemerintah acapkali terpaksa terlibat untuk mempromosikan komunitas ketika terjadi defisit sosiabilitas spontan, namun intervensi Negara mengandung resiko yang lain, karena ia bisa dengan sangat mudah melemahkan komunitas-komunitas spontan yang ditegakkan oleh civil society. Modal sosial (sosial capital) memiliki konsekuensi-konsekuensi utama bagi penentuan hakikat ekonomi industri yang akan bisa diciptakan oleh masyarakat. Jika orang-orang yang bekerja bersama dalam sebuah perusahaan saling mempercayai dan bekerja menurut serangkaian norma-norma etis bersama, maka berbisnis hanya memerlukan sedikit biaya. Masyarakat demikian akan lebih mampu berinovasi secara organisasional, karena tingkat kepercayaan yang tinggi akan memungkinkan munculnya varietas hubungan sosial yang lebih luas. Oleh karenanya, orang-orang Amerika yang sangat sociable merintis pengembangan perusahaan modern pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke 20, ketika orang jepang sudah mengeksplorasi berbagai kemungkinan organisasi-organisasi jaringan di abad ke-20. Sebaliknya, orang-orang yang tidak saling mempercayai akan segera mengakhiri kerja sama mereka yang dibangun dibawah sistem aturan-aturan dan kebajikan-kebajikan formal yang harus dinegosiasi-kan, disepakati, digugat dan dilaksanakan, bahkan kadang-kadang dengan cara koersif. Aparatus legal ini, yang dianggap sebagai pengganti kepercayaan, membutuhkan apa yang disebut oleh para ekonom sebagai “biaya-biaya transaksi.” Ketidakpercayaan yang tersebar luas dalam suatu masyarakat yang low-trust, dengan kata lain, akan membebani seluruh bentuk aktivitas ekonomi masyarakat itu dengan sejenis pajak tertentu, pajak yang tidak harus dibayar oleh masyarakat high-trust.

Modal sosial (sosial capital) tidak terdistribusikan secara seragam diantara berbagai masyarakat. Sebagian menunjukkan sebuah kecenderungan yang jelas lebih besar terhadap asosiasi yang lebih disukai pun berbeda. Dalam sebagian masyarakat, keluarga dan kekerabatan merupakan bentuk asosiasi primer: dalam masyarakat yang lain, asosiasi-asosiasi sukarela jauh lebih kuat dan digunakan untuk menarik orang keluar dari keluarga mereka. Di Amerika serikat misalnya, konversi agama seringkali mendorong orang untuk meninggalkan keluarga mereka guna mengikuti panggilan dari sekte agama baru, atau setidaknya membebankan kewajiban-kewajiban baru kepada mereka yang bersaing untuk kewajiban terhadap keluarga mereka. Di Cina, sebaliknya para pendeta Buddha sering kurang berhasil dan sering dicaci, karena membujuk anak-anak untuk menjauhi keluarga mereka. Masyarakat yang sama mungkin memperoleh modal sosial (sosial capital) sepanjang masa atau kehilangannya. Prancis pada Abad pertengahan memiliki jaringan berbagai asosiasi sipil yang padat, tetapi kapasitas Perancis untuk melakukan sosiabilitas spontan secara efektif telah lama dihancurkan sejak Abad ke-16 dan ke-17 oleh monarki sentralistik yang Berjaya waktu itu.

Sedangkan Indonesia adalah sebuah Negara yang terbentuk diatas otoritas etnik pada tiap-tiap suku yang memiliki sosiabilitas spontannya, dan hal ini sangatlah berpengaruh terhadap tenggang rasa dan gotong royong didalam budaya-budayanya, namun pula hal ini menjadi faksi-faksi tersendiri didalam tiap-tiap kulturnya sehingga membatasi perbedaan etnik budaya untuk melakukan perubahan masal dalam satu komunitas besar yaitu Indonesia sebagai sebuah Negara. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap birokrasi pemerintah telah terbentuk dengan sendirinya sehingga sikap kebijakan yang diterapkan tidak begitu menuai responsif positif oleh masyarakat luas diseluruh Indonesia. Hal ini dikarenakan tidak adanya peran Negara sebagai “founding father” dalam mengawal kebijakan sampai dengan kebijakan yang tidak populis dan hal ini menuai miskinnya kepercayaan (low-trust) masyarakat terhadap birokrasi pemerintah sehingga tanpa disadari keinginan terhadap perubahan sosial terus terwacana dalam tiap-tiap perdebatan politis sampai dengan gerakan “putch” (gerakan yang didasari oleh kepentingan politik, ekonomi individual) yang dikawal oleh intelektual Negara. Perubahan sosial lahir sebagai jawaban terhadap krisis modal sosial (sosial capital) masyarakat Indonesia terhadap birokrasi pemerintah yang dianggap gagal dalam mengemban amanat untuk mencapai cita-cita luhur bangsa Indonesia, yaitu masyarakat yang adil dan sejahtera. Perubahan sosial merupakan harapan seluruh masyarakat Indonesia untuk dapat memperbaiki seluruh tatanan hidup masyarakat (sosial, ekonomi, budaya, dan politik atau pemerintahan) menjadi lebih baik dan bermartabat. Upaya ke arah perbaikan mulai dilakukan oleh pemerintah sebagai institusi yang diberi mandat oleh rakyat Indonesia. Hal-hal yang dianggap menghambat dan tidak kondusif pada masa seperti: sentralisasi, ketidakbebasan pers, ketidakbebasan berserikat atau berpolitik, dan pemerintahan yang otoriter, dirubah ke arah yang lebih terdesentralisasi, menjamin kebebasan pers, kebebasan berorganisasi/politik, dan pemerintahan yang demokratis.

Mencermati peristiwa-peristiwa yang terjadi kurang lebih 12 tahun usia reformasi dan bila dikaitkan dengan upaya-upaya untuk menumbuh-kembangkan modal sosial (sosial capital) maka belumlah mencapai hasil yang memuaskan kalau tidak dikatakan mengalami pelemahan. Peristiwa-peristiwa yang hadir sepanjang reformasi seperti konflik yang muncul di berbagai daerah, demonstrasi yang terus berlangsung, kekerasan yang meningkat, fanatisme kesukuan dan kedaerah yang meningkat, khususnya yang terjadi pada beberapa bulan terkahir, seperti kasus Cicak vs Buaya; Kasus Century; Kasus Markus, kasus wisma atlit yang menyeret bendahara umum Partai Demokrat sendiri selaku pihak pengawal yang pro terhadap kebijakan pemerintah dan lain sebagainya, telah membawa dampak pada semakin terpuruknya modal sosial (sosial capital) masyarakat Indonesia.

Masyarakat semakin tidak percaya dengan janji perubahan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat Indonesia dalam segala aspek. Paling tidak hingga saat ini, masyarakat masih disuguhi dengan tontonan yang membuat rasa percaya (trust) masyarakat terhadap berbagai pihak termasuk pada pemerintah menjadi semakin memudar. Bila kondisi ini terus berlanjut maka arah modal sosial masyarakat Indonesia akan terus bergerak menuju pada titik nadir. Dan bila ini terjadi maka apa yang menjadi tujuan perubahan akan terus menjauh dari genggaman tangan kita.

Sebaliknya, bila peristiwa yang saat ini sedang dipertontonkan, khususnya yang terkait dengan penanganan KKN menjadi titik awal bagi upaya untuk menghapuskan KKN secara sistematis, meskipun terlambat, namun perubahan masih akan memberikan harapan bagi masyarakat Indonesia. Penyelesaian secara baik dan benar terhadap kasus-kasus yang saat ini sedang bergulir akan menjadi momentum untuk menumbuhkembangkan kembali modal sosial (sosial capital) masyarakat Indonesia yang selama ini terus mengalami pelemahan dan penghancuran tanpa harus mengeluarkan harga (cost) yang begitu besarnya dalam menyelesaikan tiap-tiap problematika yang terjadi. Bila hal ini terus dapat dilakukan, maka arah modal sosial (sosial capital) masyarakat Indonesia akan terus tumbuh dan berkembang dan akan menjadi potensial sebagai pendukung bagi keberhasilan pembangunan Indonesia, dan tentunya keberhasilan reformasi Indonesia. Jalan mana yang kita pilih sesungguhnya tergantung pada seluruh komponen masyarakat Indonesia, utamanya pemerintah yang diberi mandat untuk menjalankan perubahan tersebut.

PEMUDA BANGSA DAN MASA DEPAN INDONESIA

pemuda adalah adalah tulang punggung sebuah negara, tak hayal potret pemuda masa lalu adalah wajah negara masa kini, dan potret pemuda masa sekarang adalah penentu arah negara di masa yang akan datang. pemuda sebagai lokomotif 'perestroika' atau pembaharuan negara adalah pemuda yang terdidik dalam frame pendidikan yang layak serta mampu membentuk pemikiran untuk membangun bangsa yang lebih baik kedepannya, namun sebaliknya apabila pendidikan pendidikan formal tidak mampu menawarkan konsepsi-konsepsi bagaimana mengembangkan pemikiran alhasil wajah pemuda kedepan tidak akan memberi sumbangsih apapun terhadap negara dan pendidikan pun akan hanya akan menjadi tempat bergengsi bagi segenap pemuda yang mampu mengecap pendidikan tersebut. maka tak hayal pendidikan bergengsi pun hadir sebagai kasta-kasta terhadap status sosial tingkat perekonomian masyarakat untuk memilih pendidikan yang sesuai dengan isi kantongnya. hari ini masih begitu banyaknya pendidikan formal yang menawarkan berbagai konsepsi pembentukan manusia ke arah yang lebih baik kedepannya dapat menjadi mapan dan hanya akan memiliki pekerjaan yang pasti, hal ini pun masih dapat kita lihat dengan nyata iklan-iklan promosi pendidikan yang menggambarkan lulusannya pasti mendapat pekerjaan dan banyak diterima menjadi PNS atau perusahaan tertentu, tak hayal mainstream berfikir terhadap pendidikan pun oleh mahasiswa khususnya hanyalah sebagai batu loncatan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak kedepannya tanpa harus mementingkan ilmu yang didapatkan sebagai skill untuk bekerja atau menciptakan lapangan pekerjaan. mainstream tersebut telah begitu kental terdoktrin melalui harapan-harapan kemapanan dan sebagai kebutuhan akan harga diri (esteem needs) akan penghargaan dari orang lain, status, ketenaran, dominasi, kebanggaan, dianggap penting dan apresiasi dari orang lain sebagai peningkatan status sosial yang lebih baik. ketika hal ini terus terjadi, maka alhasil dapat di asumsikan lah bahwa pendidikan di negara ini hanya lah pembentukan pekerja-pekerja yang di stempel oleh lembaga pendidikannya sebagai hak paten untuk bekerja dan ketika hal tersebut secara terus menerus berlanjut tak hayal seluruh pemuda hasil pendidikan formal hanyalah sebagai pekerja semata tanpa mementingkan bagaimana menciptakan lapangan pekerjaan yang pada akhirnya para KAPITAL dari negara lainlah yang masuk ke indonesia untuk mendirikan perusahaan-perusahaan pengolahan hasil alam yang ada di indonesia, sedangkan kita sebagai pemuda hanyalah dapat menikmati hasilnya dengan bekerja keras dan bergaji standar sesuai dengan kontrak yang ditetapkan KAPITAL. hal tersebut pula terus menjadi momok tersendiri ketika kesalahan berfikir pemuda (intelectual cul de sac atau kebuntuan pemikiran) terus terjerembab kedalam lubang tersebut serta didukung oleh moral penguasa atau pemerintah yang lebih baik menyewakan tanah (disini tanah yang kaya akan hasil alam) dan membagi keuntungan sekian persen nya saja tanpa memikirkan dampak negatif dari hasil eksploitasi kekayaan alam tersebut (lihat :PT. Freeport dan PT. Newmont Nusa Tenggara) yang berdampak pada semakin tidak bereksistensinya pemuda dan limbah-limbah hasil produksi tersebut yang merusak lingkungan serta memberikan penyakit-penyakit.

Merububah Paradigma Pemuda.

sudah saatnya indonesia lebih mandiri dengan SDM pemuda yang ada dan siap membangun bangsa yang madiri tanpa harus menyewakan tanah negara ke KAPITAL luar negri, hal tersebut pula bukan hanya menjadi mimpi serta wacana belaka ketika perubahan dilakukan dengan penuh kesadaran untuk mengubah bangsa menjadi lebih baik dengan kemandirian tanpa perlu mem-politisir pendidikan, karena pendidikan adalah wilayah suci pembentukan manusia untuk menjadi manusia. tak hayal, ketika moral penguasa negara hanyalah sebatas memikirkan kepentingan fisiologis individual maka semua bangunan suci membangun Indonesia lebih baik hanya akan masuk tong sampah semata. membangun paradigma mandiri memang bukanlah hal yang mudah dilakukan, namun bukanlah hal yang tidak mungkin dapat dilakukan ketika secara kebijakan negara lebih megutamakan pendidikan sebagai prioritas utama sebagai investasi jangka panjang membangun bangsa lebih baik adalah benar-benar dan dengan penuh keseriusan memproteksi pendidikan dari nila kotor yang merusak susu dapat dilakukan dengan Pendidilkan Gratis yang sebenarnya, melalui penggalakan pendidikan gratis tersebut maka seluruh elemen masyarakat dari tingkat status sosial apapun akan mengecap pendidikan, namun pula pendidikan yang diberikan haruslah mulai di reformasi menjadi lebih baik dengan tidak hanya membentuk pemuda sebagai pekerja semata atau penjejalan teoritis yang melangit tanpa adanya model belajar cerdas dengan menyeimbangkan teori dan uji empiris, maka pendidikan secara simultan melalui kebijakan pemerintah (yang pastinya bukan kebijakan atas kepentingan golongan atau individu) melakukan pendidikan cerdas untuk benar-benar membentu pemuda yang "siap menciptakan lapangan pekerjaan" bukan pemuda yang "siap bekerja", maka cita-cita kondusifitas negara dan kemandiriannya pasti akan benar-benar terjadi.

ideologi pemuda, bukan Doktrinisasi

input apapun (untuk ini adalah manusia) tidak akan mempengaruhi output untuk menjadi lebih baik ketika proses pembentukannya adalah benar dan sesuai metode-metodenya, pemuda yang sebagai lokomotif negara seperti yang disebutkan diatas haruslah mempunyai tujuan yang jelas membawa negaranya kearah mana, maka perjuangan tersebut pula haruslah di isi oleh ideologi yang suci dan benar-benar sebagai konsepsi hidup untuk perjuangan membangun negara lebih baik kedepannya, penanaman ideologi pemuda haruslah disadarkan melalui pendidikan namun bukan pemaksaan terhadap paham ideologi tersebut. karena pemaksaan hanyalah doktrin, dan doktrin yang dilakukan pasti akan menimbulkan perlawanan, alhasil cita-cita demokrasi dan egalitarian negara hanyalah menghasilkan anarkisme semata ketika lebih-lebih negara menggunakan aparatusnya untuk menekan pemuda yang kontra terhadap doktrinisasi.

maka sudah seharusnya Indonesia dapat menjadi negara yang lebih baik kedepnnya, karena kita harus meninggalkan yang baik untuk menuju yang lebih baik, hal tersebut dapat lah dicapai melalui lokomotif pemuda yang baik pula.